Imaji
27/4/2021 - 27/5/2021
Ketut Nugraha Jati sering dipanggil Ketut atau Nugi adalah Graphic desainer multidisiplin berbasis di Bali. Ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di institut seni Indonesia Yogyakarta pada 2019. Saat ini Ketut dalam upaya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lama, diantaranya adalah usaha untuk mencari tahu akar-akar kebudayaan dengan mulai mendokumentasi dan menghimpun peninggalan-peninggalan yang masih bersisa dari produk budaya lama tersebut, baik dari segi bentuk visual maupun dasar-dasar falsafah yang ditinggalkan para leluhur terdahulu.

Desainer yang dikenal dengan @nugi.ketut di Instagram, setahun ke belakang ia kerap kali membuat poster yang menggambar kembali imaji-imaji kolonial namun dengan kata-kata yang berlawanan dengan apa yang biasa kita temui.
Hmm, narasi apa yang ingin disampaikan oleh Ketut? Yuk, simak perbincangan kami.

RBW: Dimana biasanya poster atau imaji kolonial ditemukan Nugi?
Nugi: Tahun 2018 saya sedang mengerjakan tugas akhir yg menjadi syarat kelulusan perkuliahan saat itu, dan biasanya judul yang mudah diterima dan ter ACC adalah judul yg Mulia dan harus memberi informasi yang belum banyak masyarakat tahu. Pun tema-tema lokalitas, menjadi tema yang paling sering diloloskan untuk dijadikan judul. Kembali lagi, akhirnya saya melakukan riset kecil mengenai Bali yg saya anggap memiliki kedekatan primordial. Setelah menemukan banyak sumber verbal maupun visual, saya memulai merangkai informasi yg ingin saya hadirkan....

...Namun saya menemukan ada yang menarik dan mengganggu saat mulai menemukan visual-visual bali era 10-30an baik berupa foto maupun karya poster. Bahwa semua keindahan dalam karya2 visual milik kolonial adalah sebuah konstruksi untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan-keuntungan baru dari industri pariwisata. Untuk poster2 era kolonial Indies sering di temukan penari/wanita bali juga insfrastruktur seperti pelayaran kapal KPM juga hotel, memang objek gambar yg sangat klise dan masih ditemui sampai sekarang ini hahaha. Atau mungkin juga sudah menjadi colonization sistem dlm gambaran Bali sendiri.

RBW: Apa yang menarik dari gambar-gambar tersebut untuk Nugi?
Nugi: Saat di Jawa gerakan perlawanan rakyat terhada[ koloni mulai menggunakan poster-poster sebagai media propaganda, sebagai contoh karyanya poster Affandi dan Chairil Anwar “Boeng ajo boeng”. Sebagai orang yang belajar desain grafis saya mulai mencari-cari apakah di Bali mempunyai poster perlawanan & pergerakan serupa seperti di Jawa pada periode itu. Walopun nihil hasil mencari poster perlawanan dan perjuangan di Bali, saya melihat objek-objek poster pariwisata di Bali memiliki kedekatan dengan poster-poster propaganda di soviet dengan constructivism-nya. Objek-objeknya mirip kalau dijadikan tema-tema sosialism/komunism hahaha

RBW: Apa yang membuat Nugi ingin memproduksi ulang poster atau imaji tersebut?
Nugi: Secara tidak sadar efek dari kolonialisme sudah bermutasi dan terus bertransmisi kedalam persoalan-persoalan baru yang lebih kompleks seperti pariwisata murah, cheap labour, gentrifikasi lokal, sikap inferior, privatisasi ruang publik, dll. Kita tinggal dan berkembang dalam kubangan luka lama dan membersihkan kotoran-kotoran post-kolonialis. Sikap dekolonisasi memberi kesadaran kolektif bahwa kita memiliki warisan yang terintegritas antar generasi seperti, ritual, kebudayaan, bahasa, makanan, kebahagiaan, spirit dan lain-lainya.

RBW: Biasanya apa yang Nugi ubah dan tidak ubah dari gambar aslinya?
Nugi: Saya hanya merasakan, membaca dan merespon fenomena yg dulu/sekarang terjadi dari temuan-temuan masa lampau.
RBW: Mengapa dilukis dan ditulis daripada dibuat secara digital berhubung Nugi juga bekerja secara digital untuk desain?
Nugi: Terkadang saya juga butuh pendekatan humanis supaya tidak digital melulu, walaupun nantinya saya scan untuk di unggah atau sekedar mengolah gambar. Beberapa hal sangat terbatas bila mengerjakan pada perangkat digital seperti mencari artistik gambar manual. Sebenarnya antara digital dan manual saling mendukung satu sama lain saat saya mengerjakan sebuah poster.

RBW: Untuk Nugi, poster-poster buatanmu ini sebagai dekonstruksi atau rekonstruksi atau keduanya atau lainnya?
Nugi: Saya lebih suka kalau poster ini mendekonstruksi dan memberi sensibilitas akan sistem kolonisasi.